BURUH PAKSA ,PERINTIS
DAN PELAKU SEJARAH
Pembangunan Jalur Kereta Api
Dari
hasil Laporan ekspedisi dan ekplorasi geologi Belanda seperti Ir. C.
De Groot tahun 1858 dan oleh Ir.
Willem Hendrik De Greve tahun 1868(Mijn Ingenieur) dan ditindak lanjuti
oleh Ir. Verbeck, ditemukan diperut
bumi Sawahlunto kandungan batubara dengan tafsiran mencapai ratusan juta ton
batubara, yang berkualitas sangat bagus.
Dari laporan ekspedisi dan ekplorasi geologi Pemerintah Kolonial Belanda melakukan Survei dan penelitian perencanaan infrastruktur transportasi pembangunan jalur kereta api dari Sawahlunto ke pelabuhan Emmahaven (Teluk Bayur – Padang). Hasil penelitian untuk transportasi tersebut di laporkan pada tahun 1875 dan dipublikasikan pada tahun 1876.Akhirnya rancangan undang- undang tentang pembangunan jalur kereta api dari pelabuhan Emmahaven ( Teluk Bayur) ke Sawahlunto diajukan pada bulan Juni 1887 dan disyahkan sebagai undang – undang pada tanggal 6 juli 1887.
Dari laporan ekspedisi dan ekplorasi geologi Pemerintah Kolonial Belanda melakukan Survei dan penelitian perencanaan infrastruktur transportasi pembangunan jalur kereta api dari Sawahlunto ke pelabuhan Emmahaven (Teluk Bayur – Padang). Hasil penelitian untuk transportasi tersebut di laporkan pada tahun 1875 dan dipublikasikan pada tahun 1876.Akhirnya rancangan undang- undang tentang pembangunan jalur kereta api dari pelabuhan Emmahaven ( Teluk Bayur) ke Sawahlunto diajukan pada bulan Juni 1887 dan disyahkan sebagai undang – undang pada tanggal 6 juli 1887.
Untuk
pelaksanaan infrastruktur sarana dan prasarana pembangunan jalur kereta api
tersebut Pemerintah Kolonial Hindia Belanda menunjuk / memerintahkan Ir. Jan Willem Ijzerman (pernah
menjabat pimpinan tambang ke II 1892 s/d 1896) untuk melaksanakan pekerjaan
tersebut.dimulai bulan September 1887.
Pemerintah Kolonial Hindia Belanda
mendatangkan Kaum Buruh paksa (Pekerja
rodi) dengan memberi tanda Tatto
ditangan sebagai nomor tanda pengenal diri (Penneng) untuk seumur hidup
Pekerja Paksa (Pekerja Rodi) diangkut dengan kapal laut dari pulau Jawa ke Sumatera Barat (Emmahaven
Harbour). Diatas kapal laut kaum buruh paksa berikrar mengucapkan Dulur
Tunggal Sekapal (saudara satu kapal) persaudaraan, sependeritaan, senasib,
sepenanggungan (Satu Rasa Seduluran
Untuk Semua).
Melihat
secara geografis dan topografis dari
pelabuhan Emmahaven ke Sawahlunto adalah medan yang sangat sulit karena gugusan pegunungan bukit barisan, maka
banyak pekerjaan persiapan yang sangat berat antara lain pemotongan dan
penembusan dengan cara peledakan (Road Blasting) dan pembuatan jembatan,
pembetonan dan penembusan bukit-bukit. Pembuatan terowongan kereta api (± 500
meter dari museum kereta api Sawahlunto) dan terowongan jalur kereta api di Kupitan. Akhirnya, pekerjaan jalur
kereta api dari pelabuhan Emmahaven – Sawahlunto sepanjang ± 185 Km dapat diselesaikan dengan memakan waktu ± 7 Tahun. Pembangunan jalur kereta api selesai pada 01 Januari 1894. Dengan terlaksananya
pembangunan jalur kereta api tersebut, pengangkutan batubara dari Sawahlunto ke Pelabuhan Emmahaven
(Teluk Bayur – Padang) sudah bisa diangkut dengan transportasi kereta api. Pemerintah Kolonial Belanda juga membangun
stasiun – stasiun kereta api untuk
mengangkut hasil bumi dan transprtasi
umum. Dengan adanya transportasi kereta api tersebut, merubah wajah Sawahlunto dari hutan belantara
yang terisolir, kawasan pertambangan menjadi sebuah Kota Kolonial bahkan pada saat itu perkembangan Kota Sawahlunto jauh lebih pesat dari
kota – kota lainnya di Sumatera Barat.
Kemunculan
infastruktur tersebut tidak sebanding dengan banyaknya korban jiwa yang meninggal
maupun penderitaan dan kesengsaraan pekerja paksa (kerja rodi)
dalam menyelesaikan pembangunan sarana dan prasarana transportasi jalur kereta
api tersebut salah satunya adalah pembuatan
menembus terowongan kereta api (500 meter dari museum kereta api Kota
Sawahlunto). Lobang yang memiliki panjang
835 meter dan terowongan kereta api di Kupitan.
Itu dikerjakan oleh pekerja paksa
yang diperlakukan secara tidak manusiawi
yang dilakukan oleh Kolonial Hindia
Belanda. Pembangunan jalur kereta api sampai juga ke Logas, Kabupaten
Sijunjung.
Kalau
kita telusuri atau napak tilas pembangunan jalur kereta api dilihat secara geografis dan topografis sungguh
sangatlah tragis, gugusan pegunungan
bukit barisan sangat banyak menyulitkan pembangunan sarana transportasi
jalur kereta api tersebut, dengan rintangan, tantangan kekerasan alam tebing
lembah yang terjal dan curam memotong dan menembus bukit cadas dan bukit batu yang sangat keras, membuat jembatan,
terowongan dan pekerjaan pembetonan yang dikerjakan oleh buruh paksa (pekerja rodi) untuk menyelesaikan pembangunan jalur kereta
api tersebut. Makan seadanya seperti ubi keladi, ubi jalar dan ubi ketela dan tanpa upah (gaji). Banyak korban jiwa
karena sakit, kelaparan dan kecelakaan kerja, siksaan fisik, sungguh ironis dan
tragis?. Telah terjadi pelanggaran Hak – Hak Asasi Manusia Sejagat atau
Declaration Universal Of Human Rights (DUHAM) tentang eksploitasi pekerja
paksa, penindasan yang dilakukan Kolonial Hindia Belanda. Pemerintah Belanda
berhutang budi kepada pekerja paksa (pekerja rodi).
Pembangunan
jalur kereta api tersebut adalah suatu
bukti sejarah warisan hasil buah karya pekerja paksa (pekerja rodi) sebagai
perintis dan pelaku terlaksananya pembangunan jalur kereta api dari Pelabuhan Emmahaven Teluk Bayur Padang ke
Sawahlunto. Dan jasa – jasanya
sangat besar sekali, pahlawan
pekerja dengan perjuangan hidup penuh dengan pengorbanan dan penderitaan,
kesengsaraan dan kemelaratan seperti Leluhur Kakek Mbah
Karno sebagai Pelaku dalam Pembangunan Jalur Kereta Api dan pernah menjadi
masinis. Mbah Karno berasal dari Pesisir
Pekalongan Jawa Tengah (Mbah Karno kakek dari Kamdi Tega dan Sukadi T).
Kolonial Hindia Belanda
memperlakukan pekerja paksa (kerja rodi) tidak
berprikemanusiaan, sampai saat ini kepedulian
kemanusiaan terhadap anak cucu keturunan
pekerja paksa dari kehormatan Pemerintah Belanda sampai saat ini tidak pernah ada. Seperti untuk
membantu biaya pendidikan, kesehatan, ekonomi, dan sosial budaya semua itu untuk masa depan yang lebih
baik, sudah menjadi kewajiban Pemerintah
Belanda untuk membayar hutang –
hutangnya (hutang kehormatan Pemerintah Belanda) diwariskan ke anak cucu
keturunannya (Komunitas Dulur Tunggal
Sekapal Sawahlunto). Pemerintah Belanda harus memperlihatkan kepeduliannya (Commitment) untuk membalas budi baiknya (Etische Politiek, by
Connad Van Deventer).
oleh: SUKADI T
Komunitas Dulur Tunggal Sekapal Sawahlunto
oleh: SUKADI T
Komunitas Dulur Tunggal Sekapal Sawahlunto
Mas, Anggota komunitasnya ada berapa orang? Boleh gabung ndak? Aku orang Slunto Jugak...Sekarang di Padang
BalasHapus