DHULUR
Tunggal Sekapal. Papan nama yang sudah lapuk dimakan hujan itu
menggantung di teras rumah Kadul (55), di Tangsi Baru, Kota Sawahlunto,
Sumatera Barat. Papan itu sama lapuknya dengan sofa tempat Kadul biasa
mencari udara segar dari terpaan hawa panas sehari-hari.
Sofa itu sudah robek di sana-sini. Busanya sebagian sudah hilang dan menyisakan
ceruk yang menampakkan kerangka kursinya saja. Namun, Kadul tidak bisa
membuang sofa butut itu karena benda tersebut masih sangat berharga
baginya. Setiap hari ia menerima tamu, yang kebanyakan adalah teman-
temannya.
Nama aslinya adalah Sukadi T, tapi ia lebih suka dipanggil Kadul.
Jangankan mengganti perangkat rumah tangga, untuk memenuhi kebutuhan
sehari-hari saja Kadul kesulitan. Ia tinggal di rumah kayu peninggalan
kakeknya bersama anak, menantu, dan tiga cucunya. Dinding rumah kayu itu
sudah berlubang di sana-sini dan lapuk karena dimakan usia.
Kalimat Dhulur Tunggal Sekapal (saudara satu kapal) menjadi semacam
pengingat bagi Kadul dan juga ribuan orang di Sawahlunto lainnya akan
keberadaan mereka di kota batubara itu. Mereka adalah keturunan orang
rantai.
Orang rantai adalah pekerja paksa yang didatangkan Belanda ke
Sawahlunto untuk menggali tambang batubara dan menyiapkan infrastruktur
untuk keperluan tambang. Belanda mendatangkan orang rantai dari
penjara-penjara di Batavia, Makassar, Bali, Madura, dan sebagian besar
dari daerah Pulau Jawa lainnya.
Mereka didatangkan pada kurun 1892-1938 dengan kapal-kapal penumpang
yang mengangkut orang-orang Belanda dan Eropa. Sepanjang perjalanan,
kaki dan tangan para tahanan itu dirantai dengan rantai besi.
Selama pelayaran yang memakan waktu 3-5 hari, orang rantai ditempatkan
di dek-dek pengap di bagian lambung kapal dan berdesak-desakkan. Mereka
yang melawan diancam hukuman cambuk atau diceburkan ke laut. Penderitaan
selama pelayaran ini memunculkan tekad bersaudara di antara sesama
orang rantai, terutama yang berasal dari Jawa.
Orang rantai ini dibawa menuju pelabuhan kecil Teluk Bayur di kota
Padang. Di sana mereka kemudian membangun pelabuhan besar untuk
keperluan batubara yang kemudian dikenal sebagai pelabuhan Emma Haven.
Orang rantai juga dipekerjakan untuk membangun jalur kereta api dari
Teluk Bayur ke Sawahlunto.
Tahanan orang rantai ini kemudian digiring menuju Sawahlunto untuk
masuk ke lubang-lubang gelap perut bumi Sawahlunto guna menggali
batubara di tambang Ombilin (Sawahlunto). Arang hitam itu diangkut
dengan kapal-kapal ke Belanda dan sebagian dikirim ke luar Sumatera
untuk keperluan kapal-kapal VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie) dan
kapal perang Belanda untuk menyerang Aceh.
RANTAI BESI
Selama bekerja di luar tambang, orang rantai ini tetap memakai rantai
besi di tangan dan kaki mereka. Sebagian diikat rantai pada tubuhnya
karena dianggap memiliki kesaktian. Orang rantai baru dilepaskan ikatan
rantainya ketika mereka masuk ke terowongan tambang batubara.
”Mereka dijaga dengan senapan di pintu masuk tambang sehingga tidak
mungkin melarikan diri,” kata Fahrie Ahda, sejarawan muda Sawahlunto.
Saridan (76) masih ingat bagaimana ayahnya, Wongso Karyo, dibuang ke
Sawahlunto dari Yogyakarta dan menjadi orang rantai. Wongso ditahan
Belanda karena membunuh orang. Saridan dan ibunya kemudian ikut dibawa
ke Sawahlunto. Namun, sang ibu kemudian dibawa Belanda ke perkebunan teh
di Kerinci dan tidak pernah kembali lagi.
Saridan kecil selalu ikut ayahnya bekerja. Ia masih memendam ingatan,
bagaimana ayahnya mengangkat-angkat baja berat untuk membuat rel kereta
api. Jika jatuh, ayahnya dipukuli opsir Belanda dengan tali tebal
terbuat dari getah karet.
Tambang batubara memunculkan eksploitasi anak. Kadul yang juga
keturunan orang rantai mengatakan, kakeknya bercerita bahwa anak-anak
dari Jawa ini diculik oleh orang kampung mereka sendiri yang menjadi
kaki tangan Belanda. Mereka kemudian menyebarkan rumor bahwa anak-anak
mereka dibawa makhluk halus.
Kondisi Jawa masa itu yang masih berupa hutan ditambah masyarakatnya
yang bodoh membuat mereka begitu mudah percaya dengan rumor itu. ”Dulu
banyak anak di sini yang tidak mengetahui siapa orangtuanya,” kata
Kadul.
Goedang Ransoem, bangunan yang dijadikan dapur untuk memberi makan
buruh tambang, menjadi saksi keberadaan anak-anak buangan di Sawahlunto
ini. Di salah satu foto di Goedang Ransoem yang kini sudah menjadi
museum, terpampang foto anak-anak yang berebut makan di satu piring.
Anak-anak itu ikut bekerja untuk bisa mendapatkan makan di dapur itu. Goedang Ransoem melayani makan sekitar 7.000 buruh tambang di
Sawahlunto. Namun, mereka yang mendapat jatah makan di situ hanyalah
para pekerja paksa dan buruh kontrak saja. Hingga sekarang, museum itu
masih menyimpan perangkat memasak berupa kuali-kuali besar yang terbuat
dari baja.
RANTAI KEMISKINAN
Keturunan orang rantai kini tinggal di Tangsi Baru, Kelurahan Tanah
Lapang, dan juga di Air Dingin yang menjadi lokasi makam orang rantai.
Di sana, nasib Kadul dan Saridan tidak jauh berbeda dengan nenek
moyangnya dulu. Meski kini tidak terbelenggu rantai besi, hidup mereka
masih terbelenggu rantai kemiskinan.
Sepanjang hidupnya, Saridan tidak mampu mengenyam pendidikan tinggi. Ia
hanya berpendidikan sekolah dasar dan bekerja serabutan di Sawahlunto.
Rantai kemiskinan membuat ia tidak mampu menyekolahkan anak keturunannya
dengan baik.
Ketika tambang Sawahlunto yang dikelola PT Bukit Asam sudah tidak
beroperasi lagi, mereka yang pernah bekerja di pertambangan menjadi
kehilangan pekerjaan. Tanah-tanah adat yang dulu dikuasai Belanda, lalu
dimiliki PT Bukit Asam, sudah dikembalikan sebagai hak ulayat adat yang
kemudian dikelola secara adat.
Kadul mengatakan, ia yang dianggap sebagai pendatang tidak mendapatkan
hak untuk ikut mengelola tanah-tanah di Sawahlunto. Ia tidak bisa ikut
menambang di pertambangan rakyat dan ikut menanam karet ataupun coklat
di lahan adat. ”Sejarah keluarga kami dijual untuk keperluan pariwisata,
tetapi hidup kami tidak juga mengalami perubahan,” keluhnya. (Lusiana Indriasari)
Sumber: KOMPAS CETAK
http://print.kompas.com/2013/12/13/%E2%80%9DRantai%E2%80%9D-Itu-Masih-Membelenggu-Keturunan-Mereka
http://travel.kompas.com/read/2013/12/29/1708248/.Rantai.Itu.Masih.Membelenggu.Keturunan.Mereka
Tidak ada komentar:
Posting Komentar